Pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ketentuan-ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dibandingkan dengan pengaturan Ketentuan-ketentuan Arbitrase Komisi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hukum Perdagangan Internasional (The United Nations Commission on International Trade Law) atau lebih dikenal Arbitrase Model Law UNCITRAL 1985 yang terdiri dari 36 pasal, UU No. 30/1999 yang terdiri dari 82 pasal tersebut telah secara luas mengatur berbagai hal terkait dengan arbitrase. Banyaknya pasal tersebut tampaknya agar UU No. 30/1999 mampu mengakomodasikan banyak hal dengan mengaturnya secara mendetail (meskipun seharusnya hal itu bukan muatan suatu undang-undang), misalnya, keharusan bagi sekretaris untuk membuat notulen rapat sehubungan dengan kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase. (Lihat Pasal 51 UU No. 30/1999.)
Selain itu, UU No. 30/1999 berusaha mengatur semua aspek baik hukum acara maupun substansinya, serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase nasional dan internasional. Upaya memasukkan semua aspek arbitrase ke dalam satu undang-undang arbitrase nasional dapat mendatangkan banyak persoalan dan membingungkan, baik mengenai letak pengaturannya maupun materinya.
Tentang letak pengaturan, misalnya tentang “prinsip pembatasan intervensi pengadilan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2), yaitu: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam ha1-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.” Ayat (2) tersebut tidak berhubungan dengan ayat lainnya, yaitu Pasal 11 ayat (1) yang mengatur mengenai “perjanjian arbitrase”, serta diletakkan pada bab yang tidak ada kaitannya, yaitu Bab III tentang syarat arbitrase, pengangkatan arbiter, dan hak ingkar. Dalam Model Law, prinsip ini (limited court involvement) diletakkan pada bagian Ketentuan Umum (General Provisions).
Materi UU No. 30/1999 juga menimbulkan persoalan, misalnya tidak ada ketentuan mengenai jangka waktu bagi pendaftaran putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengaturan mengenai periode waktu itu sangat penting karena putusan arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan di Indonesia setelah didaftarkan. Di samping itu, masih banyak masalah lain yang terkait dengan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 30/1999, yang kesemuanya itu dapat dibaca dalam buku Hukum Arbitrase dan Mediasi di Indonesia karangan Gatot Soemartono, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.