Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebelum berlakunya UU No. 30/1999, ketentuan-ketentuan tentang arbitrase tercantum dalam Pasal 615 s.d. Pasal 651 dari Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang merupakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (selanjutnya disingkat KUHA Perdata) untuk penduduk Indonesia yang berasal dari Golongan Eropa atau yang disamakan dengan mereka.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dikenal pembagian tiga kelompok penduduk dengan sistem hukum dan lingkungan peradilan yang berbeda, yaitu untuk Golongan Bumiputera (penduduk pribumi) berlaku hukum Adat dengan pengadilan Landraad dan hukum acaranya Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesich Reglement yang disingkat HIR), dan untuk Golongan Timur Asing dan Eropa berlaku Burgerlijke Wetboek atau BW (KUH Perdata), dan Wetboek van Koophandel atau WvK (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dengan hukum acaranya Rv.
Sejak kemerdekaan 1945 sampai saat ini, Indonesia masih menggunakan BW dan WvK dalam hukum positifnya. Sehubungan dengan hal itu pendapat Peter J. Burns (di dalam Abstract bukunya) yang mempertanyakan pembedaan konvensional antara Timur dan Barat sangat menarik untuk dikaji. Menurutnya telah terjadi ironi dalam perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk memisahkan diri dari Belanda karena setelah merdeka identitas bangsa Indonesia justru dibentuk oleh ide-ide Belanda, secara asli, daripada oleh kepribumiannya sendiri. Identitas tersebut (termasuk dalam sistem hukum) berakar dari Eropa daratan.
Catatan: Walaupun aturan-aturan hukum acara perdata yang terdapat dalam Rv tidak dijumpai dalam HIR, ia kemudian menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata setelah Indonesia merdeka.
Selanjutnya, ketentuan arbitrase juga (secara implisit) terdapat dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten yang disingkat RBg). Dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg disebutkan bahwa: “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa.”
Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. para pihak yang bersengketa berhak menyelesaikan sengketa mereka melalui juru pisah atau arbitrase;
b. juru pisah atau arbitrase diberi kewenangan hukum untuk menjatuhkan putusan atas perselisihan (sengketa) yang timbul; dan
c. arbiter dan para pihak memiliki kewajiban untuk menggunakan ketentuan pengadilan bagi golongan Eropa.
Pasal 377 HIR dan 705 RBg memberi peluang bagi para pihak membawa sengketa mereka di luar pengadilan untuk diselesaikan. Mengingat HIR dan RBg tidak mengatur arbitrase lebih jauh lagi, Pasal 377 HIR dan 705 RBg menunjuk ketentuan-ketentuan dalam Rv yang berlaku bagi golongan Eropa dengan tujuan untuk menghindari rechts vacuum (kekosongan hukum). Peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut adalah semua ketentuan acara perdata yang diatur dalam Rv, yaitu dalam Buku Ketiga Bab I (dari Pasal 615 s.d. Pasal 651).
Ketentuan Pasal 615 s.d. Pasal 651 Rv mengatur hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 615 s.d. 623 Rv: Perjanjian arbitrase dan pengangkatan para arbiter.
2. Pasal 624 s.d. 630 Rv: Pemeriksaan di muka arbitrase.
3. Pasal 631 s.d. 640 Rv: Putusan arbitrase.
4. Pasal 641 s.d. 647 Rv: Upaya-upaya atas putusan arbitrase.
5. Pasal 648 s.d. 651 Rv: Berakhirnya acara arbitrase.
Mengingat pesatnya perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan nasional dan internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Rv sebagai pedoman arbitrase dinilai sudah tidak sesuai lagi. Misalnya, dalam Rv tidak diatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang saat ini telah menjadi kebutuhan ”sehari-hari” dalam kegiatan bisnis internasional.
Masalah-masalah lain yang dinilai tidak sesuai lagi dalam Rv contohnya adalah perjanjian arbitrase tidak harus tertulis (Pasal 615 ayat 3), diizinkannya banding ke Mahkamah Agung atas putusan arbitrase (Pasal 641 ayat 1), larangan bagi wanita untuk menjadi arbiter (Pasal 617 ayat 2), dan lain-lain. Semua itu bertentangan dengan kecenderungan dalam perkembangan hukum modern saat ini. Dengan demikian, perubahan yang bersifat filosofis dan substantif merupakan suatu conditio sine qua non.